15 Januari 2009

Motivasi

“No one can guarantee your success, except yourself.” (Anonim)
Anda mungkin punya bakat menulis yang luar biasa. Anda juga punya cita-cita untuk menjadi seorang penulis ternama seperti John Grisham, Stephen King, Helvy Tiana Rosa atau Seno Gumira Ajidarma. Itu adalah keinginan yang sangat baik. Tapi tanpa adanya motivasi, Anda hanya seperti sebuah mobil tanpa bensin. Sebagus apapun mesin dan bodinya, ia tak akan bisa melaju di tengah jalan raya yang ramai. Memang, motivasi merupakan bensin di dalam aktivitas apapun. Motivasi adalah provokator sejati, yang menyebabkan seseorang mau melakukan apa saja untuk meraih impiannya, dan tak mau ambil pusing dengan kendala sebesar apapun. Motivasi yang sangat kuat cenderung mempermudah jalan seseorang menuju pintu sukses. Di dunia ini, kita bisa menemukan begitu banyak penulis yang sangat berbakat, mungkin jauh lebih berbakat dari Kahlil Gibran. Tapi masalah utama mereka adalah pada motivasi. Hasilnya, mereka gugur di perjalanan hanya gara-gara redaktur sebuah media menolak satu naskah mereka. Atau, seperti teman saya berisial S, yang selalu menggunakan alasan kesibukan mengurus kuliah. Tragisnya, dia suka bernostalgia seperti ini, “Saya sudah malas menulis, padahal dulu saya sering menulis naskah drama untuk TVRI di daerah saya, lho.”
Memang, merupakan hak asasi si S untuk memilih tidak terjun ke dunia penulisan. Tapi ia menyia-nyiakan sebuah kesempatan yang sangat sangat sangat berharga. Kalau ia mau, yang dibutuhkannya hanya sebuah motivasi yang terus ia gosok hingga mengkilat dan selalu panas membara. Memang lagi, begitu banyak kendala yang menghadang begitu seseorang memutuskan untuk mewujudkan sebuah ambisi. Tapi jika motivasi sudah melekat kuat di dada, kendala sebesar apapun tak akan ada artinya. Dan saya percaya, kendala terbesar justru datang dari diri kita sendiri. Karena itu, kita sendirilah yang paling tepat untuk mengatasinya.
Ada begitu banyak kendala yang mungkin menghalang perjalanan seorang penulis menuju pintu sukses. Karena tulisan ini mengenai motivasi, saya hanya akan menyebutkan kendala-kendala yang berhubungan dengan si provokator tersebut. Kendala-kendala ini tak ubahnya penyakit yang amat mematikan. Satu-satunya cara untuk menyelamatkan diri darinya adalah mengobatinya. Maka, di bawah ini saya akan
memaparkan penyakit-penyakit tersebut, yakni yang berasal dari diri kita sendiri (populer dengan istilah kendala internal), disertai semacam kiat untuk mengobatinya. Penyakit internal bagi penulis pemula Ada lima penyakit internal yang paling sering menjangkiti penulis pemula, yakni:
1. Takut ditolak
Dengan kata lain, takut gagal. “Bagaimana kalau naskah saya ditolak oleh harian Kompas? Saya tak mau
kecewa. Saya ingin naskah saya dimuat secepat mungkin. Pokoknya jangan sampai ditolak, deh!”
Jika Anda berpikir seperti itu, maka sebaiknya Anda tak pernah lagi bermimpi apapun. Sudah menjadi kodrat alam bahwa segala jenis perjuangan manusia pasti punya dua resiko yang nyata: berhasil atau gagal. Dan kita harus siap menghadapi keduanya. Tragisnya, begitu banyak orang yang siap untuk berhasil, tapi hanya sedikit yang siap untuk gagal.
Jika ada waktu, cobalah menghubungi Jazimah Al Muhyi, penulis fiksi dari Yogyakarta yang sejumlah bukunya sudah beredar di pasaran. Sebelum naskah pertamanya dimuat di Majalah Annida, sudah 36 cerpennya ditolak. Tapi ia tak pernah menyerah.
2. Minder
“Saya ingin sekali jadi penulis, dan sudah ada beberapa nasah yang saya hasilkan. Tapi saya tak berani mengirimnya ke media massa, karena saya merasa karya saya itu semuanya jelek.” Terus terang, saya sudah bosan mendengar ucapan seperti di atas. Di acara pelatihan penulisan, di milis-milis, atau di tempat-tempat lain, sudah terlalu sering saya mendengar orang-orang bicara seperti itu. Saya sampai tiba pada kesimpulan, bahwa minder adalah penyakit yang paling banyak menyerang para penulis pemula.
Asma Nadia pernah melontarkan sebuah kalimat yang amat menggelitik, “Tak pernah ada ceritanya, seorang penulis mati terbunuh hanya gara-gara kualitas naskahnya jelek.”
Ya, Asma benar. Mungkin Anda akan dicela orang jika naskah Anda sangat buruk. Mungkin Anda disarankan untuk mencari aktivitas lain, tak ada gunanya jadi penulis. Kenyataan seperti ini memang menyakitkan. Tapi percayalah! Naskah yang buruk itu tak akan pernah mencabut nyawa Anda. “Saya merasa naskah saya jelek.” Ya, SAYA MERASA.
Jadi, itu sebenarnya hanya perasaan Anda. Tapi apakah naskah Anda benar- benar jelek atau justru sangat bagus?
Apakah Anda mau membuktikannya?
Anda bisa menjawab:
1. YA, saya mau, atau:
2. TIDAK!
3. Membesar-besarkan masalah
“Saya ingin sekali menjadi penulis, tapi:
Rumah saya sangat bising; banyak penghuninya dan terletak di tengah pasar Tanah
-
Abang. Tiap hari sangat gaduh. Tak ada tempat yang tenang untuk menulis.
Saya tak punya komputer.
-
Saya sakit-sakitan.
-
Saya adalah pekerja kantoran yang serba sibuk. Pergi pagi pulang petang. Setiba di
-
rumah, sudah malam dan saya mengantuk. Lagipula saya harus mengurus tiga anak
yang semuanya masih kecil.”
Duh, betapa banyaknya masalah yang membebani Anda. Ya, Anda memang
punya alasan untuk mundur dari dunia penulisan. Tapi apakah semua itu adalah alasan
yang kuat? Mari kita lihat fakta berikut ini:
Gola Gong adalah seorang penulis yang bertangan satu.
-
Ketika saya merintis karir di bidang penulisan, saya tak punya mesin tik dan belum
-
kenal komputer. Saya menulis dengan tangan, lalu mengetikkan n askah saya di biro
jasa pengetikan.
Fahri Asiza adalah penulis produktif yang sehari-hari berperan sebagai seorang
-
pengusaha dan suami yang sangat sibuk. Tapi ia bisa menulis puluhan novel. Ia
menyempatkan diri menulis sekitar jam 5 hingga 5.30 pagi, setiap hari. Dengan cara
ini, ia dapat menyelesaikan puluhan novel
Para anggota Forum Lingkar Pena (FLP) Hong Kong adalah manusia-manusia yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Ya, mereka tak ubahnya seperti Si Inem atau Si Ijah yang setiap hari menyiapkan sarapan dan mengepel lantai di rumah Anda. Tapi mereka sudah berhasil menerbitkan buku kumpulan cerpen. Bahkan ada di antara mereka yang telah menerbitkan buku sendiri.
4. Dikritik lalu mati
Saya punya beberapa teman yang sangat antusias untuk jadi penulis. Ketika membaca naskah mereka, saya akui kualitasnya belum bagus. Lalu saya mengkritik karya-karya itu atas permintaan mereka. Mereka pun merevisinya, lalu meminta saya kembali mengkritik. Saya belum melihat kemajuan yang berarti, lalu kembali saya katakan bahwa ini masih perlu diperbaiki. Kini, teman saya itu hilang entah ke mana, sepertinya mereka tak pernah menulis naskah lagi. Jika Anda sama seperti teman saya tersebut, ijinkan saya mengungkapkan sebuah rahasia: Jika si pengkritik itu tidak mencintai Anda, maka ia akan cuek saja pada naskah Anda. Mau jelek kek, hancur kek, emangnye gue pikirin? Tapi lihatlah apa yang dia lakukan? Ia begitu semangat untuk membaca naskah Anda. Ia begitu antusias untuk menemukan kelemahan-kelemahan di dalamnya, lalu dibedahnya, dianalisisnya, kemudian Anda diberitahunya tentang cara menulis yang jauh
lebih baik.

5. Tidak Sabaran
Impian setiap penulis, termasuk saya, adalah: Hari ini menulis novel, besok sudah diterbitkan, lusa dipuji di mana-mana, dan di hari ketiga nama saya sudah terpampang di halaman Budaya dari sepuluh surat kabar terkenal. Judul beritanya, “Telah lahir, Jonru, seorang sastrawan kaliber internasional!” Sobat, marilah kita bersikap realistis. Tak ada kesuksesan yag diraih dalam satu atau dua hari. Bahkan para jawara Indonesian Idol, AFI, KDI dan sebagainya, yang disering dicap sebagai orang-orang yang populer secara instan, pun sebenarnya melalui proses yang sangat panjang. Kita mengenal Mike, Siti atau Delon hanya setelah mereka
tampil di layar kaca. Sebelum itu, apakah Anda mengenal mereka? Apakah Anda tahu kegiatan sehari-hari mereka?
6. Malas Berusaha
Ini adalah penyakit yang bisa melanda siapa saja di bidang apa saja. Jadi, ini
bukan penyakit khas para calon penulis.
Dialog berikut ini tidak nyata, tapi saya pernah menghadapi seorang calon penulis
yang mentalnya lebih kurang sama.
“Kenapa naskah novel kamu itu belum dikirim juga?”
“Aku belum tahu alamat penerbitnya.”
“Ya dicari, dong. Emang apa namanya?”
“Penerbit Anu.”
“Wah, itu masih di dalam kota. Alamatnya di jalan X nomor 10, dekat rumah sakit
umum. Antar langsung saja naskah kamu ke sana.”
“Malas, ah. Kalau ke sana kan, perlu naik angkot tiga kali. Repot.”
“Kalau begitu, kirim lewat pos saja.”
“Kantor pos juga jauh.”
“Kirim lewat email.”
“Kamu ini gimana, sih? Aku kan gaptek soal internet.”
“Ya, belajar dong.”
“Enggak ada waktu. Lagipula, apa pentingnya sih, belajar internet?”

Helvy Tiana Rosa pernah berkata, tips jitu untuk menjadi seorang penulis
adalah langsung praktek menulis, menulis, dan menulis. Menulislah setiap hari.
Jangan sampai Anda membiarkan satu hari terlewat tanpa adanya aktivitas menulis.
Jadikan menulis sebagai bagian dari gaya hidup Anda.
Kalau bisa, jangan jadikan ia sebagai hobi. Hobi biasanya hanya digeluti ketika
kita suka dan ada waktu luang. Begitu tugas utama menanti, hobi pun terbengkalai.
Kalau Anda benar-benar ingin jadi penulis, jadikan menulis sebagai
pilihan hidup, bukan hobi. Katakan pada diri Anda, “Saya seorang penulis!” dengan
penuh percaya diri!
Tapi jangan salah sangka. “Menulis setiap hari” itu bukan berarti Anda harus tiap
hari menulis cerpen atau novel atau artikel atau resensi buku. Oh, tidak. Kalau hari ini
Anda hanya menulis satu paragraf yang berisi pengalaman tadi malam di jalan raya
menuju rumah, atau pendapat singkat – sekitar tujuh kalimat - mengenai kenaikan
harga BBM, itu pun sudah sangat bagus. Sesederhana apapun tulisan yang Anda buat,
itu tidak masalah. Yang penting, menulislah setiap hari, karena bagi kita menulis itu
sama seperti makan pagi, siang dan malam.
***
Oke, semoga tulisan ini bermanfaat. Semoga motivasi dan semangat yang
menyala-nyala tetap berkobar di hati Anda.
Sebab itu adalah senjata utama Anda untuk meraih impian menjadi penulis
sukses!
Wassalam,
Jonru


0 komentar: